Menjalankan
proyek gedung besar atau tinggi pada masa kini – apalagi bila menyangkut
pengembangan gabungan (mixed use development) – dapat merupakan suatu pekerjaan
yang sangat kompleks. Berbagai bidang akan saling terkait dalam pelaksanaan
gedung semacam ini, mulai dari bidang teknik struktur termasuk fundasi dan
besmen, bidang arsitektur yang mencakup pengaturan organisme gedung, hubungan
antar ruang dan kegiatannya, sampai pada begitu banyaknya bahan finishing yang
harus dipasang; bidang instalasi mulai dari transportasi dalam gedung, penerangan,
kelistrikan, pencegah kebakaran, sistem tata udara, sistem informasi, dll ;
bidang rancang interior; bidang lansekap, dan banyak lagi bidang lain yang mana
seringkali dalam pelaksanaannya akan dilakukan simultan dan tumpang tindih
tetapi memerlukan keteraturan sekwen kerja yang runut, dan senantiasa dalam
kerangka waktu yang sudah tertentu. Masalah koordinasi menjadi momok besar,
padahal masalah-masalah tekniknya sendiri tetap memegang peran utama.
Dalam
situasi seperti inilah para pelaku teknis bekerja. Antar disiplin ilmu biasanya
lebih mementingkan sisi sendiri saja, pengetahuan tentang disiplin lain tidak
pernah didapatkan di perguruan tinggi, faktor waktu seringkali menjadi tekanan
besar
baik saat perencanaan maupun saat pelaksanaan pekerjaan fisik di
lapangan, masalah keterbatasan biaya juga menjadi faktor penentu apakah suatu
pengembangan besar akan terlaksana atau tidak. Seringkali para pelaku teknis
mendapatkan pelajarannya saat mengerjakan proyek, lewat pengalaman nyata.
Mastering by doing.
Dalam
makalah ini, kami mengupas berbagai masalah aktual yang seringkali dijumpai
dalam dunia industri konstruksi, baik praktek yang benar maupun yang salah.
Berbagai kasus kesalahan yang dapat menjadi bahan pelajaran kami kupas, dengan
tujuan agar banyak pihak dapat menuju kepada praktek konstruksi yang lebih baik
di masa mendatang. Kasus-kasus yang kami angkat mencakup aspek perancangan,
pengawasan maupun pelaksanaan di lapangan, dan tidak ditujukan secara spesifik
kepada proyek atau pihak tertentu.
1. MASALAH YANG ADA DI DUNIA KONSTRUKSI
Indonesia sudah
mempunyai peraturan gempa modern. Teknik gempa sudah menjadi mata kuliah utama
di berbagai perguruan tinggi. Namun setiap ada kejadian gempa yang cukup besar,
tetap saja terjadi kerusakan pada engineered structure yang menggunakan konstruksi
beton ”modern”. Gambar memperlihatkan kegagalan yang secara wajar seharusnya
dapat diantisipasi dan dihindari, tetapi kenyataan berkata lain. Apa
penyebabnya?
Gambar Kerusakan struktur pada saat terjadi gempa
Banyak rancangan
yang tidak memperhatikan keseluruhan aspek gedung tahan gempa. Apabila
perhitungannya sudah cukup benar, detailing penulangan sering terabaikan. Kait
sengkang tidak memenuhi syarat detailing, konfigurasi tulangan kolom dengan
kait tulangan sengkang maupun jumlah tulangan pengekang tidak memenuhi syarat,
dan banyak kelemahan lainnya. Mungkin pula rancangan sudah baik termasuk
gambarnya, namun pelaksanaannya menyimpang karena faktor kebiasaan kerja yang
sulit untuk dirubah. Pengawasanpun kadangkala tidak berjalan sebagaimana
seharusnya. Banyak sekali hal yang terkait untuk melahirkan sebuah gedung yang
memenuhi kaidah teknis mulai dari rancangan sampai produk akhir yang terabaikan.
Pada saat kuliah
di perguruan tinggi, setiap mahasiswa mengerti bahwa kapasitas momen elemen
beton bertulang ditentukan oleh tinggi efektif penampang, sehingga posisi
tulangan berperan sangat penting. Kenyataan di lapangan menunjukkan lain.
Pemborong papan atas dengan manajer proyek berpengalaman tetap dapat melakukan
kesalahan mendasar, hal mana berakibat besar untuk elemen-elemen pelat dengan
ketinggian terbatas seperti terlihat pada Gambar . Apa penyebabnya?
Gambar Tulangan atas pelat turun
Pada peraturan
tentang bangunan tahan gempa, besaran gempa rencana dipengaruhi oleh kondisi
tanah di lokasi bangunan dan sistem lateral yang akan mendisipasikan energi
gempa. Banyak perancang struktur mengambil jalan pintas dan menyatakan jenis
tanah di lokasi bangunan sebagai tanah sedang tanpa membuktikan hal ini menurut
peraturan yang sudah ada. Mungkin dia tidak mengerti, mungkin pula tidak
perduli.
Banyak hal lain
yang menyangkut teori dasar yang sudah kita pelajari, tetapi pada saat kita
bekerja pada suatu bidang tertentu, hal-hal mendasar tersebut seolah-olah
menjadi tidak penting. Para pelaku terpaku pada tugas utama dan cenderung
menyampingkan hal-hal lain. Beberapa faktor yang mungkin menjadi penyebabnya
adalah tidak perduli dengan urusan ”lain”, tidak ada pengarahan tegas dari
atasan untuk memperhatikan faktor teknik, target melulu pada soal waktu dan
keuntungan, menginginkan kemudahan, nekat, tidak bertanggung-jawab,
tergesa-gesa atau tidak mengerti.
Seorang pekerja
teknis profesional akan mencari dua hal yaitu kepuasan kerja dan renumerasi
finansial yang memadai. Para profesional inilah yang akan menjalankan roda
perusahaan jasa konstruksi, baik sebagai konsultan, MK atau pemborong dan
spesialis termasuk pemasok bahan teknis. Perusahaan ini
didirikan dengan tujuan utama mendapatkan profit, selain mungkin adapula misi
lainnya seperti pelayanan masyarakat. Dalam menjalankan roda usaha, perusahaan
akan dipagari oleh pihak PEMDA dengan berbagai aturannya.
Setiap perusahaan
mempunyai strategi masing-masing dalam menjalankan usahanya. Di satu pihak
persaingan bertambah ketat, di lain pihak tuntutan pekerjaan juga bertambah
kompleks. Tanpa kebijakan yang jelas dan tepat, perusahaan akan terbawa ke arah
persaingan harga semata. Ini merupakan salah satu sumber masalah. Dengan
imbalan jasa yang murah, seringkali pihak manajemen puncak memberikan jatah
waktu penyelesaian pekerjaan, batas biaya yang terkadang tidak masuk akal, dan
memberi renumerasi yang kurang sepadan bagi tenaga teknis. Peralatan dirawat
seadanya, pemakaian peralatan dipaksakan semaksimal mungkin sedemikian sehingga
terkadang kurang memperhatikan jadwal dan tahapan pekerjaan. Jalan pintas
dilakukan untuk mengejar profit. Pelatihan pengetahuan dan keterampilan hampir
tidak ada. Sub-kontraktor atau tenaga buruh dan mandor ditekan biayanya
serendah mungkin. Tidak heran banyak sekali proyek yang dilakukan secara ”tidak
wajar”, menjauhi kondisi optimal apalagi ideal.
Sumber masalah
lain yang penting adalah faktor manusia. Sebagai seorang profesional, seorang
pelaku teknik yang kompeten harus selalu memenuhi kualifikasinya dengan cara
belajar terus, melakukan pengembangan diri secara kontinu dan bertindak secara
etis. Disini masalah sikap yang menyangkut tanggung jawab akan hasil kerja
perlu mendapat sorotan khusus. Banyak sekali pelaku teknis yang ”hanyut” dalam
kegiatan rutin dan mulai membudayakan mencari jalan pintas untuk kemudahan
hidupnya, lalu melupakan masalah-masalah teknik. Karena seringkali tidak timbul
suatu masalah, atau belum timbul, maka kebiasaan tersebut berlanjut. Dengan
demikian kami simpulkan ada dua masalah utama yang dapat menyebabkan penyimpangan
dari hasil karya ideal. Pertama, kebijakan perusahaan atau pimpinan kelompok
kerja. Kedua, kompetensi dan sikap pribadi (attitude) para pelaku teknis yang
menyangkut aspek tanggung jawab akan kualitas pekerjaan. Hal ini berlaku dalam
seluruh bidang kerja konstruksi.
2. KASUS-KASUS KESALAHAN DAN PELAJARAN YANG DIDAPAT
Dalam makalah ini
kami soroti beberapa kejadian dalam praktek yang dapat dipelajari agar kita dapat menuju kepada praktek konstruksi yang lebih baik
di kemudian hari. Kasus yang dipaparkan meliputi beberapa kesalahan yang
dilakukan konsultan perencana, konsultan pengawas (MK), dan pemborong dalam
peristiwa yang berbeda. Nama proyek dan pelaku tidak akan diungkapkan disini,
namun pelajaran yang dapat diambil akan bermanfaat untuk praktek kita di masa
mendatang.
2.1. PEMILIHAN NILAI R (FAKTOR
MODIFIKASI RESPON SEISMIK)
Gambar 4
menunjukkan skema sederhana struktur beton dengan shearwall di bagian tengah
yang dihubungkan dengan portal yang mempunyai kolom pipih pada kedua ujung
gedung. Dalam perancangan gedung tahan gempa, gempa maksimum dapat dibagi oleh
faktor R sehingga menjadi design earthquake, atau yang disebut gempa nominal
dalam SNI Gempa 03-1726-2002. Karena kolom-kolom tepi mempunyai proporsi melampaui
2,5:1, hal mana merupakan batasan dimensi kolom dalam struktur tahan gempa,
maka oleh perencana, elemen vertikal di tepi dikategorikan sebagai shearwall. Dengan demikian perencana mengambil dinding geser kantilever senagai sistem
penahan lateral ,dengan faktor R = 5,5. Bila kita mengkaji lebih dalam masalah
perilaku shearwall dan hubungannnya dengan faktor R, maka kita akan menyadari
bahwa kasus ”cantilever shearwall” dengan faktor R-nya akan berlaku apabila
bidang momen yang diterima shearwall berbentuk sedemikian sehingga menyerupai
bidang momen pada sistem kantilever. Gambar memperlihatkan diagram bidang
momen shearwall dan kolom yang dianggap sebagai shearwall, dimana didapatkan
partisipasi frame ternyata cukup besar sehingga pemilihan sistem lateral
sebagai shearwall kantilever tidak tepat, kecuali apabila shearwall utama
dirancang untuk menerima 100% design earthquake, dan bagian portal diperlakukan
sebagai ”bagian rangka yang tidak menyumbangkan ketahanan lateral”
Gambar Bidang momen
shearwall dan kolom
2.2 DETAILING TULANGAN : GAMBAR DAN PELAKSANAAN
Masih sering
ditemukan kesalahan mendasar dalam hal detailing tulangan pada konstruksi beton. Hal ini berlaku baik dalam perancangan maupun pelaksanaan di lapangan.
Dalam segi
perancangan, masalah panjang penyaluran tulangan seringkali tidak diperhatikan.
Contoh : sebuah kolom pipih dengan lebar 30 cm, menerima balok tegak lurus arah
pipihnya. Tulangan pokok balok diambil D25. Bagaimana penyaluran gayanya dari
besi tulangan ke beton? Dengan panjang hanya sekitar 25 cm saja, maka baik
panjang penyaluran ld maupun panjang dengan kait ldh
tidak mencukupi. Meskipun faktor-faktor tebal selimut diperhatikan, tetap saja
diperlukan panjang minimal 30-40 cm berikut kait standar yang juga memakan
tempat. Tabel 1 menunjukkan nilai ldh untuk berbagai mutu beton dan
diameter tulangan. Dalam segi pelaksanaan, masalah yang paling banyak dijumpai
dalam segi detail tulangan adalah ketepatan posisi tulangan pelat (terutama
tulangan atas), dan ukuran kait sengkang. Gambar 3 dan Gambar 6 memperlihatkan
posisi tulangan yang salah dan yang benar, sedangkan Gambar 7 dan Gambar 8
menunjukkan detail yang salah dan yang benar.
Tabel 1
f’c
Ukuran Tulangan
|
TD - 40
|
||||
210
|
280
|
350
|
420
|
560
|
|
10
|
210
|
180
|
170
|
150
|
130
|
13
|
280
|
240
|
220
|
200
|
170
|
16
|
350
|
300
|
270
|
250
|
215
|
19
|
420
|
360
|
330
|
300
|
260
|
22
|
490
|
420
|
380
|
345
|
300
|
25
|
555
|
485
|
430
|
395
|
340
|
29
|
630
|
545
|
490
|
445
|
385
|
32
|
710
|
615
|
550
|
500
|
430
|
Gambar 6 : Posisi tulangan dan dudukannya yang baik
Gambar 8 : detail kait
yang benar
Gambar 7: detail kait
yang salah
Dengan semangat kerja yang tinggi dan sikap mengejar
kualitas, kami percaya hal-hal yang benar semacam ini dapat dicapai pada
pelaksanaan proyek. Disini persistensi dari perancang, pengawas dan pelaksana
mulai dari tingkat manajer proyek sampai pada tukang perlu digalang bersama.
2.3 PENGERJAAN COREWALL BETON
Dalam pelaksanaan pekerjaan corewall beton, ada
dua jenis form work yang dipakai yaitu jenis jump-form (atau slip-form) dan
jenis seperti kolom (sistem Peri, Doka atau Mesa ). Sistem kolom umumnya akan menghasilkan
hasil akhir yang lebih baik karena pengecoran elemen vertical dan horizontal
terdefinisi lebih baik, dan sistem kerjanya memperbolehkan adanya stek-stek
tulangan yang menonjol ke luar. Sedangkan jump-form, mekanismenya harus
mempunyai dua permukaan dinding yang bebas dari tonjolan. Umumnya starter bar tulangan pelat dan balok ditekuk, untuk kemudian
diluruskan kembali saat akan melakukan pengecoran elemen horisontal. Yang
menjadi masalah adalah meluruskan tulangan tertekuk sangatlah sulit dan hasil
akhirnya pun tidak pernah lurus. Gambar 9 menunjukkan pekerjaan corewall dengan
teknik jump-form, dan Gambar 10 memperlihatkan hasil pelurusan tulangan yang
dilipat. Gambar 11 memperlihatkan contoh formwork corewall sistem kolom.
Gambar 9 Teknik pembuatan corewall dengan sistem jump-form
Gambar 10 : Tulangan yang dilipat dan hasil tulangan yang diluruskan
kembali
Gambar 11 Teknik pembuatan corewall dengan formwork jenis kolom
Karena itu kami
menganjurkan memakai formwork sistem kolom, seperti yang ditunjukkan dalam
Gambar 11 di atas. Disini starter bar untuk elemen horisontal dapat dipasang
dengan prosedur normal.
2.4 MUTU BETON, RASIO AIR SEMEN
DAN SLUMP
Masalah ini
kelihatannya sepele, namun banyak pihak yang belum mengerti sepenuhnya akan
hubungan antara kekuatan / mutu beton, rasio air semen dan slump. Pada suatu
proyek nyata, dimana sebagai perancang struktur kami menuliskan spesifikasi
beton berdasarkan mutu yang disyaratkan, jumlah kadar semen minimum, rasio air
semen (atau lebih tepatnya rasio air terhadap cementitiuous material) maksimum,
kadar fly-ash maksimum dan slump yang diinginkan. Mix-design telah disetujui,
dan truk beton datang ke lokasi. Pada beberapa truk, slump yang terukur
ternyata lebih besar dari yang disyaratkan, dan truk-truk tersebut ditolak oleh
pihak pengawas (MK). Gambar 12 menunjukkan proses pengukuran slump yang umum
dilakukan di lapangan.
Gambar 12
Slump menunjukkan
kinerja pengaliran dan pemampatan beton (flowability) dan tidak terkait dengan
mutu beton. Untuk menghasilkan beton mutu tinggi, hanya satu hal saja yang
harus dipenuhi yaitu bagaimana kita membuat beton dari berbagai campuran
material yang bisa dibuat sepadat mungkin. Tentunya dengan catatan kekuatan
agregat senantiasa lebih tinggi daripada kekuatan cement paste. Karena itu air
yang dipakai harus seminim mungkin, tepat dan cukup untuk mengaktifkan semen.
Beton seperti ini umumnya sangat kental, sehingga perlu diberi platstizicer
agent untuk mencapai slump yang disyaratkan. Karena itu slump yang lebih tinggi
dari spesifikasi tidak berbahaya dan tidak berpengaruh terhadap mutu beton,
selama hal ini didapatkan bukan dari penambahan air semata
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus